Thursday, January 17, 2013

sejarah Sisingaan Subang


pada masa kolonialisme, rakyat nusantara melakukan perlawanan terhadap penindasan penjajah dengan beragam cara. Ada yang secara frontal dengan melakukan perlawanan fisik, adapula yang melawan melalui karya seni, seperti tarian, nyanyian, maupun seni pertunjukan yang mengusung simbol-simbol anti kolonialisme. Beberapa waktu lalu, penulis telah mengulas seni perlawanan terhadap kolonialisme dari daerah Banyumas, yakni seni Buncis. Selain seni Buncis, rakyat di bagian lain bumi nusantara juga memiliki ekpresi budaya masing-masing sebagai manifestasi ketidak sukaan mereka terhadap penjajahan asing. Salah satunya adalah seni pertunjukan sisingaan dari kota Subang.


Sisingaan atau gotong singa merupakan salah satu bentuk karya seni yang memiliki makna khusus ketika kolonialis Eropa menancapkan kuku kekuasaannya di daerah Subang. Ketika itu, pasca diberlakukannya UU Agraria tahun 1870, pemerintah kolonial Belanda membuka lebar peluang ekspansi bisnis kaum pemodal dari Eropa untuk mencari sebanyak-banyaknya hasil bumi dan bahan baku industri dari bumi nusantara. Kota Subang yang sebagian wilayahnya memiliki topografi dataran tinggi dan cocok untuk areal perkebunan menjadi incaran kalangan investor asing.
Sejarah Seni Sisingaan
Ilmu Antropologi mengenal teori sistem simbol yang diperkenalkan oleh Clifford Geertz, seorang Antropolog Amerika. Dalam bukunya yang berjudul Tafsir Kebudayaan (1992), Geertz menjelaskan makna dibalik sistem simbol yang ada pada suatu kebudayaan. Geertz menyatakan bahwa sistem simbol yang merefleksikan suatu kebudayaan, dapat diinterpretasikan dengan menggunakan sistem makna (System of Meaning). Jadi bila ingin menginterpretasi sebuah kebudayaan dapat dilakukan dengan menafsirkan sistem simbolnya.
Demikian juga dengan kesenian sisingaan dari Subang yang tak bisa dipisahkan dari simbol boneka singa yang biasanya ditunggangi anak-anak dalam pertunjukannya. Dalam sejarahnya, sisingaan merupakan simbol kebencian warga Subang terhadap kapitalis perkebunan dari Belanda dan Inggris yang mendapat proteksi pihak pemerintah kolonial (Kurnia,2003). Ketika itu, kaum kapitalis dari Inggris mendirikan sebuah perusahaan perkebunan swasta bernama P & T Lands (Pamanoekan en Tjiasemlanden).  Perusahaan inilah yang memegang hak eksploitasi perkebunan di wilayah Subang. Jadi dapat disimpulkan, pada masa itu Kabupaten Subang secara politik berada di bawah otoritas pemerintah kolonial Belanda, namun secara ekonomi berada di bawah  kuasa korporasi asal Inggris. Situasi ini merupakan konsekuensi dari kebijakan liberalisasi ekonomi yang dijalankan pemerintah Belanda pasca 1870, yang sejatinya masih berlanjut hingga Indonesia merdeka kini.
Kesenian sisingaan diciptakan sekitar tahun 1840 oleh para seniman yang berasal dari daerah Ciherang, yang berjarak sekitar 5 km dari pusat kota Subang. Seni sisingaan ini dapat dikategorikan sebagai sebuah perlawanan simbolik rakyat Subang terhadap penjajah. Singa, adalah simbol dari Negara Belanda dan Inggris, dua negara yang dipandang sebagai penjajah oleh rakyat Subang pada pertengahan abad 19. Dalam pertunjukan sisingaan, ada dua boneka singa (simbol dari dua negara Eropa tersebut) yang ditunggangi dan dikendalikan oleh anak kecil (simbol rakyat Subang) yang berada di atasnya. Hal ini bermakna ejekan dan pelecehan terhadap lambang kebanggan kaum kolonialis tersebut. Demikianlah makna tersebut masih menjadi interpretasi simbol sisingaan di kalangan warga Subang hingga kini. Simbol boneka singa yang diduduki anak kecil dapat ditafsirkan sebagai cerminan budaya anti kolonialisme dalam masyarakat Subang.
Hiburan Rakyat
Pada masa kini, seni pertunjukan sisingaan lebih diartikan sebagai bagian dari hiburan rakyat. Seni sisingaan umumnya dipentaskan dengan berkeliling kampung pada saat ada hajatan warga seperti acara khitanan, pelantikan pejabat desa, pernikahan dan lain sebagainya (Sariyun, 1992). Pertunjukan diawali dengan pemberian kata sambutan oleh pimpinan kelompok sisingaan. Setelah acara pemberian kata sambutan, barulah sang anak yang akan dikhitan, pengantin atau tokoh masyarakat yang akan diarak menaiki boneka singa. Kemudian, dengan diiringi oleh irama lagu-lagu dari kesenian Ketuk Tilu dan Doger, 8 orang pemain dari kelompok sisingaan akan mulai menggotong dua buah boneka singa yang telah dinaiki manusia tersebut.  Kesenian sisingaan pun dimulai dengan mengelilingi kampung atau desa, hingga akhirnya kembali lagi ke tempat semula. Pertunjukan berakhir dengan sampainya rombongan sisingaan di tempat ketika awal pertunjukan dimulai.
Di masa lalu, para pemain sisingaan umumnya adalah 8 orang laki-laki dewasa yang berperan sebagai penggotong boneka singa (1 boneka digotong oleh 4 orang), disertai seorang pemimpin kelompok, beberapa orang pemain waditra (peralatan musik tradisional), dan satu hingga dua orang jajangkungan (pemain yang menggunakan kayu sepanjang 3-4 meter ketika berjalan di tengah pertunjukan). Namun, sekarang telah banyak grup sisingaan yang terdiri dari para pemain perempuan, khususnya untuk posisi penggotong boneka singa.
Selain sebagai hiburan, kini sisingaan juga telah menjadi kesenian khas Kabupaten Subang yang memiliki daya tarik wisata bagi turis domestik maupun mancanegara. Pemerintah kabupaten Subang bahkan mengadakan festival Sisingaan secara rutin untuk memperingati hari jadi Kabupaten Subang (5 April) setiap tahun. Kesenian tersebut juga telah menjadi simbol dari Kabupaten Subang itu sendiri.
Sebagai budaya anti kolonialisme yang dikembangkan oleh rakyat Subang, sudah selayaknya seni sisingaan dapat disertakan dalam perjuangan melawan imperialisme modern atau neo-kolonialisme-imperialisme (nekolim) kini. Latar belakang kelahiran seni sisingaan sebagai reaksi atas dimulainya era liberalisme ekonomi di bumi nusantara tahun 1870, sangat relevan dengan situasi terkini bangsa Indonesia yang juga dikungkung oleh sistem neo-liberalisme dan berakibat tunduknya negeri ini pada dominasi kepentingan ekonomi-politik pihak asing (nekolim).
Simbolisasi pendudukan anak kecil terhadap boneka singa dapat merefleksikan perjuangan gerakan pembebasan nasional untuk mengalahkan kekuatan imperialis beserta kompradornya di dalam negeri. Kini saatnya kaum pergerakan (terutama yang bergerak di lapangan kebudayaan) untuk melakukan re-interpretasi pada seni sisingaan sebagai bagian dari ekspresi budaya anti imperialisme, bukan hanya hiburan atau komoditi pariwisata semata.

0 comments :