Buah nanas mampu menjadi tumpuan hidup bagi ribuan warga Desa Tambakan, Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Bagi warga desa yang letaknya 12 km sebelah utara Gunung Tangkubanperahu itu, isu kenaikan BBM (bahan bakar minyak) ditanggapi dingin-dingin saja. Sama persis sewaktu terjadi krisis moneter pada 1998-an, mereka seolah tak ikut terpengaruh. Pasalnya, hasil bumi berupa buah nanas “Semut Kayen” yang sudah terkenal di negeri ini, tak pernah sepi peminat. Permintaan nanas, baik untuk industri buah kalengan maupun untuk dijual di pasar atau supermarket selalu ada. Bahkan, saat ini harganya sedang meroket, mencapai Rp1.200 per kg.
Tak heran kalau hampir 80% penduduk di desa tersebut menanam nanas. Hampir tak ada sejengkal tanah milik rakyat yang terlihat menganggur, semuanya ditanami nanas, baik itu halaman atau pun di samping kiri dan kanan rumah. Sebagian sudah berbuah hijau, dan sebagian lagi masih berupa tunas. Bahkan di sela-sela pohon pisang, ataupun di antara pohon kelapa atau bambu mereka tanami nanas. Desa itu pantas disebut desa nanas.
Nanas yang ditanam di Desa Tambakan bukan sembarang nanas. Tapi, nanas jenis “Semut Kayen,” yang terkenal memiliki keistimewaan tersendiri. Nanas ini, selain perawatannya mudah, buahnya berwarna kuning keemasan dan berair banyak. Kelebihanya, terutama rasa, manis tanpa rasa getir dan bila dimakan tidak menyebabkan gatal di kerongkongan. Selain itu, daunnya yang berwarna hijau tua dan pohonnya tidak berduri, sebagaimana lazimnya pohon nanas biasa.
Berawal dari Oleh-oleh
Nanas Semut Kayen inilah yang telah mengubah nasib ribuan warga Tambakan. Sejak beralih menanam nanas pada 1971, kehidupan warga di sana sedikit demi sedikit mulai bangkit. Jauh lebih baik dari ketika mereka masih menggantungkan hidup dari bertanam jagung, pisang, dan sayuran, yang hasilnya tak menentu. Mereka beralih menjadi petani nanas setelah mendengar kabar bahwa di Curugdendeng sukses mengembangkan sentra buah nanas. Kelurahan Curugdendeng masih satu kecamatan dengan Desa Tambakan, yaitu Kecamatan Jalan Cagak. Buah yang oleh pedagang disebut “Si Madu” itu mulai dikenal di Kelurahan Curugdendeng ada ceritanya. Pada 1922, Lurah Bintang, lurah pertama di Curugdendeng membawa oleh-oleh -- sepulang mengantar pamannya yang menikah dengan gadis Bogor -- berupa tiga buah nanas. Setelah diambil buahnya, mahkota nanas itu dibuang begitu saja ke lahan kosong. Tak dinyana, mahkota nanas yang dianggap sampah itu tumbuh menjadi pohon nanas. Dari situ, nanas kemudian berkembang, dan Kelurahan Curugdendeng pun menjadi sentra nanas, hingga sekarang.
Kini rata-rata penduduk di 17 desa di Kecamatan Jalan Cagak, termasuk Desa Tambakan, berprofesi sebagai petani nanas. Setiap empat hari sekali, para petani di sana mampu memanen 60 ton nanas. Memang tidak semua lahan menghasilkan nanas Semut Kayen. Setidaknya, 70% dari satu hektar lahan ditanam nanas yang rasanya manis seperti madu.
Menurut Ketua Gabungan Kelompok Petani (Gapoktan) Nanas, , rahasia untuk menghasilkan nanas “Si Madu” sangat tergantung dari cara perawatan. Salah satunya, tidak membiarkan pohon lain, seperti kelapa, pisang, atau bambu tumbuh di lahan tanaman nanas. “Maksudnya, supaya tidak menghalangi masuknya sinar matahari,” katanya kepada Tani Merdeka baru-baru ini. Sinar matahari sangat membantu proses penyerapan nutrisi yang berasal dari campuran pupuk urea, KCL, dan TSP.
Tak Ada Saingan
Sejak merasakan nikmatnya bertanam nanas, warga Desa Tambakan kini seolah enggan beralih ke tanaman lain. Apalagi pemasarannya tidak sulit, karena lokasi Kabupaten Subang memang sangat strategis. Hanya berjarak 58 km dari Bandung, ibukota Jawa Barat, dan 161 km dari ibukota negara, Jakarta. Kabupaten yang juga dikenal sebagai lumbung padi Jawa Barat ini berada di jalur pantai utara Jawa, merupakan jalur transportasi angkutan darat. Itulah yang membuat nanas Semut Kayen dengan gampang dipasarkan ke beberapa daerah, seperti Jakarta, Bandung, dan Cirebon. Bahkan, tiap kali panen, warga tidak perlu repot mencari pasar, karena nanas ini siap ditampung oleh PT INI, sebuah pabrik buah kalengan di Karawang, Jawa Barat. “Nanas Semut Kayen boleh dibilang tidak ada saingannya,” Buktinya, beberapa waktu lalu, warga diminta untuk menyuplai nanas Semut Kayen untuk diekspor ke Korea, Belanda, dan Jepang. Bahkan negara Swiss telah memesan dua kontainer dodol nanas setiap bulan. Dodol nanas adalah salah satu produk olahan nanas yang telah dikembangkan di Desa Tambakan sejak 1988. Karena keterbatasan alat produksi, permintaan dari Swiss itu tidak bisa dipenuhi.
Goktan yang dipimpin oleh bapak empat anak ini membawahi 17 kelompok petani nanas di 17 desa di Kecamatan Jalan Cagak. Setiap kelompok beranggota 5oo hingga seribuan petani. Sejak 1984, produksi nanas Gapoktan dipesan oleh empat industri nanas, masing-masing PT. Kokin di Jawa Timur, PT Moga Makmur di Semarang, PT Ultra Jaya di Bandung, PT. Sinar Mas di Bogor. Nanas segar itu diolah menjadi buah kalengan, selai, jus, cocktail, dan berbagai produk makanan lainnya.
Namun seiring berjalannya waktu, keempat pabrik itu tutup. Kini, satu-satunya pabrik yang masih menjadi pelanggan nanas Semut Kayen adalah PT INI. “Setiap petani yang mengirim nanas ke PT INI harus ada surat jalan dari saya,” lanjut , yang sejak 1984 hingga 2004 melatih para mahasiswa dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung dan Intitut Pertanian Bogor (IPB) tentang cara bertanam nanas Semut Kayen.
Begitu memasuki Desa Tambakan, , Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang, Jawa Barat, nuansa pedesaan yang begitu kental langsung terasa. Rindangnya pepohonan membuat hawa di pedasaan itu terasa sejuk, dan suasana pun tenang. Ya, setenang kehidupan 1.800 kepala keluarga yang menghuni desa tersebut. Mereka tetap menjalankan aktivitas sebagaimana layaknya, seakan tak terpengaruh oleh melambungnya harga bahan pangan di dunia, termasuk Indonesia.
Bagi warga desa yang letaknya 12 km sebelah utara Gunung Tangkubanperahu itu, isu kenaikan BBM (bahan bakar minyak) ditanggapi dingin-dingin saja. Sama persis sewaktu terjadi krisis moneter pada 1998-an, mereka seolah tak ikut terpengaruh. Pasalnya, hasil bumi berupa buah nanas “Semut Kayen” yang sudah terkenal di negeri ini, tak pernah sepi peminat. Permintaan nanas, baik untuk industri buah kalengan maupun untuk dijual di pasar atau supermarket selalu ada. Bahkan, saat ini harganya sedang meroket, mencapai Rp1.200 per kg.
Tak heran kalau hampir 80% penduduk di desa tersebut menanam nanas. Hampir tak ada sejengkal tanah milik rakyat yang terlihat menganggur, semuanya ditanami nanas, baik itu halaman atau pun di samping kiri dan kanan rumah. Sebagian sudah berbuah hijau, dan sebagian lagi masih berupa tunas. Bahkan di sela-sela pohon pisang, ataupun di antara pohon kelapa atau bambu mereka tanami nanas. Desa itu pantas disebut desa nanas.
Nanas yang ditanam di Desa Tambakan bukan sembarang nanas. Tapi, nanas jenis “Semut Kayen,” yang terkenal memiliki keistimewaan tersendiri. Nanas ini, selain perawatannya mudah, buahnya berwarna kuning keemasan dan berair banyak. Kelebihanya, terutama rasa, manis tanpa rasa getir dan bila dimakan tidak menyebabkan gatal di kerongkongan. Selain itu, daunnya yang berwarna hijau tua dan pohonnya tidak berduri, sebagaimana lazimnya pohon nanas biasa.
Berawal dari Oleh-oleh
Nanas Semut Kayen inilah yang telah mengubah nasib ribuan warga Tambakan. Sejak beralih menanam nanas pada 1971, kehidupan warga di sana sedikit demi sedikit mulai bangkit. Jauh lebih baik dari ketika mereka masih menggantungkan hidup dari bertanam jagung, pisang, dan sayuran, yang hasilnya tak menentu. Mereka beralih menjadi petani nanas setelah mendengar kabar bahwa di Curugdendeng sukses mengembangkan sentra buah nanas. Kelurahan Curugdendeng masih satu kecamatan dengan Desa Tambakan, yaitu Kecamatan Jalan Cagak. Buah yang oleh pedagang disebut “Si Madu” itu mulai dikenal di Kelurahan Curugdendeng ada ceritanya. Pada 1922, Lurah Bintang, lurah pertama di Curugdendeng membawa oleh-oleh -- sepulang mengantar pamannya yang menikah dengan gadis Bogor -- berupa tiga buah nanas. Setelah diambil buahnya, mahkota nanas itu dibuang begitu saja ke lahan kosong. Tak dinyana, mahkota nanas yang dianggap sampah itu tumbuh menjadi pohon nanas. Dari situ, nanas kemudian berkembang, dan Kelurahan Curugdendeng pun menjadi sentra nanas, hingga sekarang.
Kini rata-rata penduduk di 17 desa di Kecamatan Jalan Cagak, termasuk Desa Tambakan, berprofesi sebagai petani nanas. Setiap empat hari sekali, para petani di sana mampu memanen 60 ton nanas. Memang tidak semua lahan menghasilkan nanas Semut Kayen. Setidaknya, 70% dari satu hektar lahan ditanam nanas yang rasanya manis seperti madu.
Menurut Ketua Gabungan Kelompok Petani (Gapoktan) Nanas, , rahasia untuk menghasilkan nanas “Si Madu” sangat tergantung dari cara perawatan. Salah satunya, tidak membiarkan pohon lain, seperti kelapa, pisang, atau bambu tumbuh di lahan tanaman nanas. “Maksudnya, supaya tidak menghalangi masuknya sinar matahari,” katanya kepada Tani Merdeka baru-baru ini. Sinar matahari sangat membantu proses penyerapan nutrisi yang berasal dari campuran pupuk urea, KCL, dan TSP.
Tak Ada Saingan
Sejak merasakan nikmatnya bertanam nanas, warga Desa Tambakan kini seolah enggan beralih ke tanaman lain. Apalagi pemasarannya tidak sulit, karena lokasi Kabupaten Subang memang sangat strategis. Hanya berjarak 58 km dari Bandung, ibukota Jawa Barat, dan 161 km dari ibukota negara, Jakarta. Kabupaten yang juga dikenal sebagai lumbung padi Jawa Barat ini berada di jalur pantai utara Jawa, merupakan jalur transportasi angkutan darat. Itulah yang membuat nanas Semut Kayen dengan gampang dipasarkan ke beberapa daerah, seperti Jakarta, Bandung, dan Cirebon. Bahkan, tiap kali panen, warga tidak perlu repot mencari pasar, karena nanas ini siap ditampung oleh PT INI, sebuah pabrik buah kalengan di Karawang, Jawa Barat. “Nanas Semut Kayen boleh dibilang tidak ada saingannya,” Buktinya, beberapa waktu lalu, warga diminta untuk menyuplai nanas Semut Kayen untuk diekspor ke Korea, Belanda, dan Jepang. Bahkan negara Swiss telah memesan dua kontainer dodol nanas setiap bulan. Dodol nanas adalah salah satu produk olahan nanas yang telah dikembangkan di Desa Tambakan sejak 1988. Karena keterbatasan alat produksi, permintaan dari Swiss itu tidak bisa dipenuhi.
Goktan yang dipimpin oleh bapak empat anak ini membawahi 17 kelompok petani nanas di 17 desa di Kecamatan Jalan Cagak. Setiap kelompok beranggota 5oo hingga seribuan petani. Sejak 1984, produksi nanas Gapoktan dipesan oleh empat industri nanas, masing-masing PT. Kokin di Jawa Timur, PT Moga Makmur di Semarang, PT Ultra Jaya di Bandung, PT. Sinar Mas di Bogor. Nanas segar itu diolah menjadi buah kalengan, selai, jus, cocktail, dan berbagai produk makanan lainnya.
Namun seiring berjalannya waktu, keempat pabrik itu tutup. Kini, satu-satunya pabrik yang masih menjadi pelanggan nanas Semut Kayen adalah PT INI. “Setiap petani yang mengirim nanas ke PT INI harus ada surat jalan dari saya,” lanjut , yang sejak 1984 hingga 2004 melatih para mahasiswa dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung dan Intitut Pertanian Bogor (IPB) tentang cara bertanam nanas Semut Kayen.
0 comments :
Post a Comment